Rabu, 19 Maret 2008

PENDIDIKAN DI PAPUA

PENDIDIKAN YANG BERJALAN MUNDUR

Disadur dari "Ekspedisi Tanah Papua ; Laporan Jurnalistik Kompas"

Mundur! Begitulah jawaban guru-guru hingga Kepala Daerah di Papua menjawab soal pendidikan di sana.
Viktor Wikom (58), Kepala SD Xaverius di Tanah Merah, Boven Digoel, tanpa keraguan menyebut mundurnya pendidikan. Ia sulit membayangkan bagaimana pendidikan di pedalaman, sedangkan ia yang mengajar di ibu kota Kabupaten saja sulit mengakses materi pelajaran.
Kegetiran pun diungkapkan Theresia Esi Samkakai, guru yang mengajar sejak tahun 1962 di Papua. Kondisi anak-anak Papua saat ini tak beranjak dari masa lalunya ; dekil, berpenyakit kulit, serta buta huruf dan angka. Sungguh, kondisi yang ia temukan hari ini hampir sama dengan setengah abad silam. Bahkan, mutu pendidikannya lebih buruk lagi. Di pedalaman banyak sekolah tak beroperasi. Gedung berdiri tanpa Guru, yang lebih suka mangkir dan keluyuran di kota sambil menunggu gaji buta. Padahal, pendidikanlah harapan terbesar kami untuk bisa berhadapan dengan dunia luar.
Hasil Survei Sosial Ekonomi (Susenas) 2006 yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) Papua menunjukkan sebanyak 73.729 orang dari 423.122 anak di Papua berusia 7 - 15 tahun tak pernah bersekolah.
Kualitas lulusan SD? Tak sedikit yang buta huruf , apalagi berhitung. "Banyak anak-anak sudah SMP tak bisa baca tulis. Mutu pendidikan di Papua jauh menurun. Guru-guru tak lagi punya jiwa mengabdi untuk membuat anak-anak menjadi pintar, setidaknya bisa baca tulis," kata Marcus Limbong (60), pensiunan Guru SD di Welbuti, Okaba, yang pernah mengajar di pedalaman Distrik Okaba sejak 1970.
Pengawas sekolah yang tak berfungsi menyumbang kian amburadulnya pendidikan. "Banyak pengawas sekolah yang tak pernah tahu lokasi sekolah yang diawasinya. Mereka tak pernah datang dan membiarkan Guru-guru meninggalkan sekolah, " kata Frederick Sitaung (35), satu-satunya guru yang mengajar di SD Poepe, Merauke, sejak 15 tahun terakhir.
Menurut Theresia Esi Samkakai, dulu guru disiapkan tak hanya sebagai pengajar di sekolah, tetapi juga dalam masyarakat. Guru dituntut mampu memotivasi dan memajukan masyarakat secara nyata. Akibatnya, warga pedalaman yang baru saja bersentuhan dengan orang luar pun menghormati guru.
Awal bergabung dengan Indonesia, ketika dikirim banyak guru Trikora dan Taspos untuk mengajar di Papua, mutu pendidikan lumayan baik. Guru-guru dari Kei, Tanimbar, Toraja, ataupun Jawa berdedikasi tinggi. "Semakin lama, guru yang dikirim ke Papua makin kacau, tambahnya.
Menurut Viktor, jiwa mendidik dan pengabdian yang seharusnya jadi kekuatan guru musnah seiring dihapuskannya Sekolah Pendidikan Guru (SPG). Hal serupa diungkapkan Kepala SD Inpres Tanah Merah Cosmas Kuwet (54). " Guru-guru sekarang kebanyakan hanya mencari kerja, kemauan mengabdi tak penting lagi."

Tidak ada komentar: